KabarDunia.com – Ekonomi | Kalangan anggota DPR dan pengamat ekonomi menilai pemerintah perlu memberikan insentif bagi peningkatan ekspor komoditas primer, terutama minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) guna menyelamatkan rupiah dari pelemahan terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Insentif itu antara lain berupa kemudahan regulasi serta penurunan pungutan ekspor.
Firman Subagyo, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI mengatakan, pelemahan rupiah terhadap dolar AS (usd) antara lain disebabkan laju impor yang tinggi, kenaikan utang korporasi jangka pendek, dan defisit neraca perdagangan Indonesia. ”Dalam nota keuangan yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (sby) disebutkan asumsi rupiah berada pada level Rp 9.750 per usd. Ini berbahaya karena sekarang rupiah sudah menyentuh Rp 10.900 per usd,” ujarnya kepada wartawan di Jakarta, kemarin.
Pelemahan rupiah yang diakibatkan defisit neraca perdagangan juga dipicu ekspor komoditas yang tidak mampu mengimbangi impor minyak dan gas. ”Karena itu, komoditas primer khususnya sawit perlu didukung untuk mendorong ekspor. Karena ini yang membuat surplus neraca perdagangan Indonesia,” paparnya.
Menurut dia, insentif bagi ekspor komoditas primer dapat diberikan berupa kemudahan regulasi dan penurunan pungutan ekspor. Ini perlu dilakukan untuk menyelamatkan perekonomian dari ancaman krisis. ”Kalau rupiah bergerak liar, tidak tertutup kemungkinan krisis akan mengancam,” tuturnya.
Pemerintah, lanjut Firman, perlu serius mengkaji berbagai terobosan seperti insentif bagi ekspor komoditas primer untuk menyelamatkan perekonomian negara. Berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), nilai ekspor CPO dan turunannya pada periode Januari-Juni 2013 mencapai USD 9,62 miliar. Tahun lalu, nilai ekspor CPO dan turunannya mencapai USD 21,29 miliar.
Volume ekspor CPO Indonesia periode Januari-Juli 2013 mencapai 11,34 juta ton. Sementara total volume ekspor CPO Indonesia pada tahun lalu mencapai 16,8 juta ton. Menyikapi hal ini, pemerintah sedang mengkaji sejumlah insentif untuk mendorong peningkatan volume ekspor dan perbaikan neraca pembayaran. Menteri Perindustrian M.S. Hidayat mengatakan, dengan kondisi penguatan nilai tukar dolar saat ini, sejumlah eksportir diharapkan bisa memanfaatkan penambahan volume, terutama bahan material dasar.
”Nah guna mengatasi pelemahan rupiah, strategi yang coba diusulkan salah satunya adalah perbaikan neraca pembayaran dengan mengupayakan peningkatan ekspor. Karena dengan kurs saat ini, sebenarnya eksportir bisa meningkatkan volume, terutama penghasil CPO dan kakao di luar Jawa diharapkan bisa menggenjot itu,” kata Hidayat.
Hampir semua komoditas primer diharapkan bisa digunakan untuk mendorong peningkatan ekspor. Adapun untuk jangka menengah, dia menyatakan pemerintah sedang menghitung sektor apa saja yang bisa meningkatkan ekspor. Aryan Wargadalam, Direktur Industri Hasil Hutan, Kementerian Perindustrian, mengatakan, peningkatan nilai ekspor produk komoditas perkebunan harus diimbangi dengan peningkatan daya saing dalam negeri. ”Harga komoditas umumnya turun naik. Sementara daya saing kita selama upah naik lebih tinggi dari kurs, tidak ada pengaruhnya,” kata dia.
Hendri Saparini, Ekonom dari Econit mengatakan, defisit neraca perdagangan akibat importasi migas akan sulit diimbangi dengan ekspor produk komoditas perkebunan. Karena impor migas Indonesia saat ini cukup tinggi. Namun jika sektor itu diandalkan untuk memperbaiki peluang ekspor, dia memperkirakan itu bisa terjadi. Meski untuk meningkatkan peluang ekspor produk komoditas juga diperlukan peran dan strategi pemerintah.
”Untuk memanfaatkan peluang tersebut tinggal menunggu bagaimana strategi pemerintah. Karena dengan kondisi ekonomi dunia yang sedang melambat, pemerintah perlu memikirkan cara seperti strategi non pricing,” ujar dia.
Selamatkan Rupiah, Insentif Ekspor CPO Perlu Diberikan