Seorang perempuan berpakaian modis dan menjinjing tas bermerek Louis Vuitton warna coklat mengantre di sebuah toko miniatur pesawat di sebuah mal besar di daerah Jakarta Selatan. Di belakang dia, seorang lelaki berkemeja rapi juga gelisah menunggu antrean. Kedua bola matanya jelalatan ke kiri dan ke kanan.
Di dalam toko, tiga wanita cantik tersenyum ramah menyambut para pelanggan. Tiga mesin gesek kartu debit atau kartu kredit (electronic data capture/EDC) berjejer di atas meja berbalut kaca transparan.
Sekilas, toko itu seperti menjual pesawat tiruan. Namun sejatinya, bisnis utama mereka melayani para pengguna kartu kredit terlilit utang jatuh tempo. Layanan itu ialah mencairkan dana lewat menggesek kartu kredit.
Bunga dibebankan lebih ringan, yakni 2,6 persen dibanding menarik fulus lewat mesin ATM (Anjungan Tunai Mandiri). Di sini berlaku bunga 2,95 persen ditambah ongkos adiminstrasi minimal Rp 50 ribu, tergantung jenis bank. Meski begitu, utang pokok tetap menumpuk.
Mauli, nama samaran, termasuk pelanggan mesin gesek tunai ini. Dia datang ke toko itu Jumat pekan lalu untuk menarik uang setelah dua hari sebelumnya membayar tagihan kartu kredit. Dia melakoni itu hampir saban tengah bulan lantaran gajinya tidak cukup melunasi tagihan terus membengkak. “Kalau buat dadakan dibanding harus tarik tunai di ATM bunganya nyekek mending gestun (gesek tunai),” kata Mauli
Pria berpendapatan Rp 3,5 juta ini sudah dua tahun menggunakan kartu kredit. Tapi dia cuma mampu melunasi sepersepuluh dari total tagihan Rp 10 juta per bulan.
Selain gesek tunai, cara lain melunasi utang jatuh tempo dengan cuci kartu. Artinya, toko melunasi tagihan pemilik kartu. Kemudian toko menggesek kembali sesuai jumlah pelunasan. Sebagai jasa, pelanggan dikenai biaya tiga persen dari total tagihan plus administrasi Rp 10 ribu. Biaya ini menjadi keuntungan pemilik toko gesek tunai.
Siasat licik lunasi tunggakan kartu kredit